Selasa, 26 September 2017

MODEL EVALUASI BLACK BOX


MODEL EVALUASI BLACK BOX
OLEH
ADRIANTONI, M. Pd

A.    PENDAHULUAN
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahapan yang harus dilalui oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan keputusan maupun dalam mengambil kebijakan dalam pendidikan khususnya dalam kurikulum. Hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh pemegang kebijakan atau dalam kata lain stake holder maupun bagi para pengembang kurikulum untuk memilih dan menetapkan kebijakan atau keputusan dalam pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Selanjutnya  hasil evaluasi kurikulum juga bisa dijadikan sebagai umpan balik bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum. Menurut Oliva (1983) evaluasi adalah alat untuk menentukan keputusan apa yang perlu dikembangkan dan untuk memberikan dasar efek-efek yang berkembang. Sedangkan menurut Hasan (2009) evaluasi kurikulum adalah suatu usaha sistematis dalam mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai-nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Dengan demikian evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembangan kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum. Dalam evaluasi kurikulum, terdapat beberapa model yang bisa diterapkan oleh guru dalam melakukan evalusi kurikulum dan pembelajarannya di satuan pendidikan. Dimana setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dari setiap penerapannya. Keefektifan suatu model itu tergantung dari tujuan evaluasi tersebut. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan model evaluasi black box yang diciptakan oleh Tyler.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Model Black Box
Model black box atau dinamakan juga dengan model Tyler, karena orang yang melahirkan teori model evaluasi kurikulum ini ialah Tyler. Dalam buku Basic Principles of Curriculum and Instructional, Tyler banyak mengemukakan ide dan gagasannnya mengenai bagaimana melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Sehingga beliau menjadi terkenal sebagai salah seorang tokoh dalam evaluasi pendidikan atau pembelajaran yang hingga saat sekarang model atau konsepnya masih digunakan diterapkan dalam melakukan evaluasi pembelajaran atau evaluasi kurikulum. Dalam bukunya Tyler mengemukakan How can the effectiveness of learning experiences be evaluated?. Dari pertanyaan tersebut Model black box didasari oleh dua hal pokok yang menjadi fokus dari evalusinya. Pertama, evaluasi yang dilakukan dengan tujuan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada awal tingkah laku peserta didik sebelum dilaksanakannya kurikulum dan sesudah melaksanakan kurikulum (hasil). Dari kedua pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa seorang evaluator dalam melakukan evaluasi terlebih dahulu menentukan perubahan tingkah laku seperti apa yang harus ada pada peserta didik setelah mengikuti pengalaman belajar. Selanjutnya juga dalam model evaluasi ini Tyler juga mengatakan bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi disebabkan oleh kegiatan kurikulum, bukan oleh sesuatu yang lain diluar kurikulum atau pengalaman belajar. Dari kedua hal tersebut model Tyler lebih menitik beratkan kepada hasil belajar atau hasil akhir dari pelaksanaan kurikulum, sehingga aspek proses tidak diperhatikan dalam menentukan perubahan tingkah laku atau penentuan hasil belajar.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pelaksanaan kurikulum atau dalam bahasa sekarang dilakukannya tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Tyler mengatakan (1949) “On this basis, one is not able to evaluate an instructional program by testing students only at the end of the program. Without knowing where the students were at the beginning, it is not possible to tell how far changes have taken place”. Informasi yang diperoleh dari pre-tes merupakan gambaran awal bagi guru untuk mengetahui kemampuan peserta didik, sedangkan pos-tes merupakan gambaran akhir dari perubahan tingkah laku yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran dari kurikulum yang diterapkan. Dalam melakukan pre-tes dan pos-tes alat ukur yang digunakan harus sama, dan  tingkat validitas dan reliabilitasnya harus juga sama-sama tinggi. Persyaratan validitas dan reliabilitas dalam tes merupakan suatu persyaratan pokok agar hasil yang diperoleh benar-benar menggambarkan kemampuan peserta didik setelah mengikuti tes. Karena model Tyler tidak memandang kepada proses maka model ini dinamakan dengan model black box. Sebab, apa yang terjadi dalam proses tidak diperhatikan sehingga menjadi bahan pertanyaan untuk dicari jawabannya dari dalam kota ketersebut.
Dalam implementasi model evaluasi black box, Tyler mengemukakan tiga langkah yang harus dilakukan, diantaranya:
a.       Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
Penentuan tujuan merupakan suatu hal pokok yang harus diperhatikan dalam kurikulum. Karena dengan tujuan yang jelas makan hasil dari kurikulum akan bisa diukur dengan baik dan benar. Penentuan tujuan diarahkan kepada perubahan tingkah laku (behavioral objectives) sebenarnya di indonesia sudah lama diterapkan. Pada kurikulum 1975 misalnya tujuannya sudah dirahkan kepada perubahan tingkah laku, sehingga pada waktu itu para guru diwajibkan mengembangkan satuan pelajaran yang bernama Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Saat sekarang model PPSI tidak lagi digunakan oleh guru pada satuan pendidikan di seluruh Indonesia.
b.      Menentukan situasi di mana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
Langkah kedua dalam model evaluasi black box adalah bagaimana menentukan situasi untuk melakukan perubahan tingkah laku peserta didik benar-benar bisa terungkap dengan baik. Bila situasinya tidak diatur dengan baik, maka perubahan tingkah laku yang diharapkan tidak tercapai sepenuhnya. Sehingga program pembelajaran yang telah disusun pada waktu awal tidak tercapai sepenuhnya dalam kurikulum. 
c.       Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
Langkah ketiga yaitu menentukan alat untuk melakukan evaluasi, dalam melakukan evaluasi instrumen yang digunakan bisa bermacam-macam. Penggunaan jenis instrumen itu tergantung pokok permasalahan yang ingin diteliti atau sesuai dengan tujuan dilakukannya evaluasi atau penilaian. Dalam evaluasi kurikulum model black box ini instrumen yang digunakan adalah tes. Ketika evaluator telah menentukan situasi dimana peserta didik diharapkan dapat menunjukkan hasil belajar, maka evaluator harus memiliki pengetahuan mengenai karakteristik instrumen tersebut, kekuatan, dan kelemahannya. Selain itu juga seorang evaluator harus mengatakan kepada peserta didik jenis instrumen apa yang digunakan dalam mengukur perubahan tingkah laku peserta didik. Dalam melakukan evaluasi seorang evaluator juga bisa menggunakan instrumen yang sudah tersedia jikalau instrumen tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin diharapkan. Dalam menentukan jenis instrumen, evaluator harus mengembangkannya sesuai dengan prosedur dalam teori pengukuran. Di mana dalam teori pengukuran suatu instrumen dikatakan baik harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: validitas dan reliabilitas. Kedua persyaratan di atas merupakan hal pokok yang harus ada dalam setiap jenis instrumen penelitian. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto: 2010). Suatu instrumen yang valid maka tingkat kevaliditasnya akan tinggi, sebaliknya jika instrumennya kurang valid maka tingkat validitasnya akan rendah. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk memperoleh instrumen yang valid seorang evaluator harus bertindak hati-hati sejak awal penyusunan tujuan. Menurt Ali (2011) kriteria instrumen itu dikatakan baik dan layak untuk digunkanakan harus memiliki empat syarat, yaitu: pertama, obyektif, dimana suatu instrumen pengukuran menunjukkan bahwa data yang dikumpullkan dengan menggunakan instrumen tertentu dapat menggambarkan keadaan sebenarnya. Kedua, layak, artinya kelayakan suatu instrumen menunjukkan bahwa instrumen itu dapat digunakan untuk mengumpulkan data yang sesuai. Ketiga, reliabel yaitu derajat kereliabelan dapat diketahui berdasarkan hasil pengujian secara empirik. Keempat, valid, artinya valid dari segi isi maupun juga valid dari segi konstraknya.
2.      Kelebihan dan kekurangan model black box
Setiap model tentu memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan Model black box tentu juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari model black box, diantaranya: a. sederhana, artinya mudah untuk dilaksanakan oleh evaluator; b, hanya fokus pada aspek hasil belajar. Sedangkan kelemahan model black box, diantaranya; mengabaikan aspek proses, karena proses merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan oleh guru. Karena dalam proses terdapat berbagai pengalaman yang diperoleh peserta didik yang nantinya akan berpengaruh terhadap perubahan tingkah lakunya. Oleh karena itu, mode ini sangat disayangkan tidak memerhatikan aspek tersebut padahal itu sangat berarti sekali.
C.    KESIMPULAN
Evaluasi kurikulum merupakan sautu bagian dari pengembangan kurikulum yang sangat penting sekali untuk diketehui oleh seorang evaluator baik itu guru, kepala sekolah, dan stake holder. Dengan adanya evaluasi maka kita akan dapat mengetahuai sejauh mana keterlaksanaan dan ketercapain dari suatu kurikulum, sehingga nantinya kita bisa mengambil sautu keputusan atau kebijakan dari hasil evaluasi tersebut apakah kurikulum perlu dilkukan perbaikan atau revisi dan perubahan hingga pergantian. Dalam evaluasi kurikulum terdapat berbagai model-model evalusi kurikulum, dimana setiap model tentuk memiliki keunggulan dan kelemahan, karena model merupakan gambaran dari yang sebenarnya yang dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam penerapannya. Begitu juga dengan model black box ini yang dilahirkan oleh Tyler pada tahun 1946. Model ini sudah tua namun masih banyak diterapkan oleh guru dalam melakukan evalusi pembelajaran di satuan pendidikan.
D.    DAFTAR PUSTAKA
Ali. M. (2011). Memahami Riset Prilaku dan Sosial. Bandung: Cendekia Utama.
Arifin. Z. (2013). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosda Karya.
Arikunto. S. (2011). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan. S.H. (2009). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Rosda Karya.
Olive. P.F. (1983). Developing curriculum, A Guide to Problems, Principles and Process. New York. Harper & Publisher.
Sukmadinata. N.S. (2010). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. (2012). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Tyler. R.W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instructional. Chicago: University of Chicago Press.


PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


Oleh 
Adriantoni



A.    Latar Belakang
Dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) periode 2005-2025, ditegaskan visi pembangunan nasional adalah “mewujudkan manusia dan masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Bangsa yang “mandiri” diukur dari kapasitasnya dalam upaya mewujudkan kualitas hidup dan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kekuatan sendiri. Masyarakat Indonesia yang “maju” diukur  dari kualitas manusianya yang dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang tercermin dalam system dan kelembagaan ekonomi, social, politik, dan hokum. Manusi dan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dapat ditunjukkan dengan struktur dan mekanisme dalam mencegah berbagai nilai, perilaku dan kebijakan institusi yang diskriminatif baik antarindividu, antar segmen masyarakat, maupun antar wilayah, sedangkan “makmur” dapat diukur dari terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup secara berkelanjutan. RPJPN 2005-2025 juga menetapkan delapan misi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan: (1) masyarakat yang berkhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradap berdasarkan falsafah pancasila; (2) bangsa yang berdaya saing; (3) masyarakat demokratis yang berlandaskan supermasi hokum; (4) Indonesia yang damai, aman,, dan bersatu; (5) pemerataan pembangunan yang berkeadilan; (6) Indonesia asri dan lestari; (7) Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
B.     Permasalahan
Kini, Indonesia menhadapi tantangan persaingan bangsa di era global yang menuntut peningkatan kualitas dan produktivitas manusia terdidik. Berbagai kebijakan pembangunan pendidikan nasional telah dilahirkan, antara lain melalui sebuah loncatan besar dalam legislasi anggaran pendidikan hingga mencapai sedikitnya 20% dari APBN. Namun, besarnya anggaran pendidikan bukanlah sebuah jaminan untuk mencapai pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Indonesia masih harus bejerka keras mewujudkan efisiensi pengelolaan, pengalokasian, dan pendayagunaan anggaran pendidikan agar secara efektif dalam mencapai tujuan yang dimaksud. Daya saing hanya dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa yang mandiri, yaitu bangsa yang mampu melaksanakan kebijakan dan program pembangunan dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Perwujudan kemandirian suatu bangsa hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan berkeadilan. Pendidikan harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan nasional di berbagai bidang. Dalam bidang perekonomian, pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga terdidik yang cakap, kreatif,dan professional agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi yan produktif dan berkelanjutan.
Dalam kaitan tersebut, berikut ini dikemukakan beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan system pendidikan nasional.
1.      Komitmen Indonesia terhadap legislasi internasional
Sebagai anggota aktif dari united nation (UN), Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan universal declaration of human right (UDHR, 1948), yang pada pasal 28 menegaskan bahwa; “(1) setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar, yang harus bersifat free and compulsory; (2) pendidikan teknik, kejuruan, profesi, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki (diikuti) oleh semua orang berdasarkan kemampuan masing-masing”. Untuk memenuhi hak-hak dasar manusia yang dilindungi oleh undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang bermutu, secara adil dan merata bagi seluruh warga Negara.
2.      Peningkatan mutu dan daya saing
Hingga kini, Indonesia masih menghadapi permasalahan konseptual yang kronis dalam penyusunan kebijakan nasional pendidikan. Sekal awal 1970 an, keberhasilan pembangunan pendidikan lebih banyak diukur dengan menggunakan indicator kunci keberhasilan (IKK) yang sebenarnya sudah dianggap using, tetapi masih dipakai secara massive di semua jenis dan jenjang pendidikan seperti angka partisipasi pendidikan (APK, APM, APS, angka melanjutkan sekolah, dan sejenisnya) pada tingkatan yang sangat agregat. Indicator kunci keberhasilan lain yang masih digunakan dalam mengukur mutu pendidikan nasional adalah skor akhir dari ujian nasional (UN) yang justru lebih banyak mengukur jumlah pengetahuan yang diperoleh siswa ketimbang mengukur capaian standar pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah masih menganggap bahwa konsep supremacy jauh lebih penting ketimbang konsep capacity. Kejuaran dalam olimpiade adalah contoh dari konsep supremacy karena yang menang hanya orang per orang yang jumlahnya kecil dan tidak terkait langsung dengan kemampuan bangsa menguasai iptek. Namun, penyiapan olimpiade justru mendapat perhatian yang jauh lebih besar ketimbang penguatan LPTK untuk menyiapkan dan mengembangkan guru yang berkompeten dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika, sain, atau literasi. Kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun dalam matematika , sains, dan membaca masih berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2012. Indonesia hanya lebih baik dari rangking terbawah, yaitu Peru. Rata-rata skor matematika, membaca, dan sains anak-anak Indonesia adalah 375, 396, dan 382, jauh di bawah rata-rata skor anak di Negara OECD, yaitu 494, 496, dan 501. Dengan posisi dalam PISA atau TIMSS yang demikian menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan rendahnya capacity dalam penguasaan Iptek.
3.      Relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
Permasalahan mutu dan daya saing lainnya yang cukup mengkhawatirkan adalah angka pengangguran nasional yang masih cukup tinggi. Ketika menghasilkan lulusan yang banyak penganggurannya, maka suatu satuan, jenis atau janjang pendidikan dapat dikatakan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional. dengan banyaknya pengangguran terdidik, pendidikan juga dapat dikatan kurang mampu mendorong tumbuhnya produktivitas perekonomian nasional bahkan mungkin dapat menjadi kendala pertumbuhan. Pengangguran tenaga terdidik juga menimbulkan akibat-akibat social yang lebih komplek, seperti kenakalan, kegelisahan, kemiskinan, kriminalitas, ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah sebagai cirri masyarakat yanggg kurang mandiri. Dalam analisis sakernas (suryadi, 2011) memperlihatkan gejala konsisten bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar persentase lulusan yang menganggur. Persentase penganggur lulusan pendidikan dasar 1-3%, SMP 5-6%, SMA 14% dan pendidikan tinggi 13%. Perluasan SMK sebagai pendidikan persiapan kerja justru menghasilkan lulusan penganggur dengan persentase terbesar , 15,9%. Angka setengah penganggur sebesar 32% juga menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata pekerja Indonesia sangat rendah. Gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintah belum mampu mengemban amanat pasal27 ayat (2) yang berbunyi: “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
C.    Peranan LPDP

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan di atas serta permasalahan yang dipaparkan tersebut, maka salah satu solusi untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan atau menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Salah satunya pada pendidikan tinggi, dengan mengupayakan tri darma perguruan tinggi yaitu; pendidikan, pengabdian, dan penelitian. Pada aspek penelitian pada perguruan tinggi ini perlu didukung oleh pemerintah dalam memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan penelitian. Karena dalam melakukan penelitian membutuhkan dana yang cukup besar, kebanyakan mahasiswa bahkan dosen sekalipun minim melakukan penelitian dalam bidang keilmuannya salah satu alasannya dikarenakan dana yang tidak ada. Oleh sebab itu, LPDP sebagai salah satu program pemerintah Kementrian Keuangan merupakan harapan bagi para peneliti baik kalangan mahasiswa, dosen dan sebagainya yang telah memberikan kesempatan untuk memajukan pertumbuhan pembangunan nasional kedepannya dengan memberikan bantuan berupa beasiswa belajar mulai dari S1, S2, dan S3 serta memberikan bantuan penulisan tesis dan disertasi. Semoga dengan adanya program ini, tingkat penelitian Indonesia semakin bertambah, karena dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka keilmuan baru akan lahir dan permasalahan-permasalahan yang terjadi sedikit banyaknya bisa diatasi dan diobati.