Selasa, 26 September 2017

PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


Oleh 
Adriantoni



A.    Latar Belakang
Dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) periode 2005-2025, ditegaskan visi pembangunan nasional adalah “mewujudkan manusia dan masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Bangsa yang “mandiri” diukur dari kapasitasnya dalam upaya mewujudkan kualitas hidup dan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kekuatan sendiri. Masyarakat Indonesia yang “maju” diukur  dari kualitas manusianya yang dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang tercermin dalam system dan kelembagaan ekonomi, social, politik, dan hokum. Manusi dan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dapat ditunjukkan dengan struktur dan mekanisme dalam mencegah berbagai nilai, perilaku dan kebijakan institusi yang diskriminatif baik antarindividu, antar segmen masyarakat, maupun antar wilayah, sedangkan “makmur” dapat diukur dari terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup secara berkelanjutan. RPJPN 2005-2025 juga menetapkan delapan misi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan: (1) masyarakat yang berkhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradap berdasarkan falsafah pancasila; (2) bangsa yang berdaya saing; (3) masyarakat demokratis yang berlandaskan supermasi hokum; (4) Indonesia yang damai, aman,, dan bersatu; (5) pemerataan pembangunan yang berkeadilan; (6) Indonesia asri dan lestari; (7) Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
B.     Permasalahan
Kini, Indonesia menhadapi tantangan persaingan bangsa di era global yang menuntut peningkatan kualitas dan produktivitas manusia terdidik. Berbagai kebijakan pembangunan pendidikan nasional telah dilahirkan, antara lain melalui sebuah loncatan besar dalam legislasi anggaran pendidikan hingga mencapai sedikitnya 20% dari APBN. Namun, besarnya anggaran pendidikan bukanlah sebuah jaminan untuk mencapai pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Indonesia masih harus bejerka keras mewujudkan efisiensi pengelolaan, pengalokasian, dan pendayagunaan anggaran pendidikan agar secara efektif dalam mencapai tujuan yang dimaksud. Daya saing hanya dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa yang mandiri, yaitu bangsa yang mampu melaksanakan kebijakan dan program pembangunan dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Perwujudan kemandirian suatu bangsa hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan berkeadilan. Pendidikan harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan nasional di berbagai bidang. Dalam bidang perekonomian, pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga terdidik yang cakap, kreatif,dan professional agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi yan produktif dan berkelanjutan.
Dalam kaitan tersebut, berikut ini dikemukakan beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan system pendidikan nasional.
1.      Komitmen Indonesia terhadap legislasi internasional
Sebagai anggota aktif dari united nation (UN), Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan universal declaration of human right (UDHR, 1948), yang pada pasal 28 menegaskan bahwa; “(1) setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar, yang harus bersifat free and compulsory; (2) pendidikan teknik, kejuruan, profesi, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki (diikuti) oleh semua orang berdasarkan kemampuan masing-masing”. Untuk memenuhi hak-hak dasar manusia yang dilindungi oleh undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang bermutu, secara adil dan merata bagi seluruh warga Negara.
2.      Peningkatan mutu dan daya saing
Hingga kini, Indonesia masih menghadapi permasalahan konseptual yang kronis dalam penyusunan kebijakan nasional pendidikan. Sekal awal 1970 an, keberhasilan pembangunan pendidikan lebih banyak diukur dengan menggunakan indicator kunci keberhasilan (IKK) yang sebenarnya sudah dianggap using, tetapi masih dipakai secara massive di semua jenis dan jenjang pendidikan seperti angka partisipasi pendidikan (APK, APM, APS, angka melanjutkan sekolah, dan sejenisnya) pada tingkatan yang sangat agregat. Indicator kunci keberhasilan lain yang masih digunakan dalam mengukur mutu pendidikan nasional adalah skor akhir dari ujian nasional (UN) yang justru lebih banyak mengukur jumlah pengetahuan yang diperoleh siswa ketimbang mengukur capaian standar pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah masih menganggap bahwa konsep supremacy jauh lebih penting ketimbang konsep capacity. Kejuaran dalam olimpiade adalah contoh dari konsep supremacy karena yang menang hanya orang per orang yang jumlahnya kecil dan tidak terkait langsung dengan kemampuan bangsa menguasai iptek. Namun, penyiapan olimpiade justru mendapat perhatian yang jauh lebih besar ketimbang penguatan LPTK untuk menyiapkan dan mengembangkan guru yang berkompeten dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika, sain, atau literasi. Kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun dalam matematika , sains, dan membaca masih berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2012. Indonesia hanya lebih baik dari rangking terbawah, yaitu Peru. Rata-rata skor matematika, membaca, dan sains anak-anak Indonesia adalah 375, 396, dan 382, jauh di bawah rata-rata skor anak di Negara OECD, yaitu 494, 496, dan 501. Dengan posisi dalam PISA atau TIMSS yang demikian menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan rendahnya capacity dalam penguasaan Iptek.
3.      Relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
Permasalahan mutu dan daya saing lainnya yang cukup mengkhawatirkan adalah angka pengangguran nasional yang masih cukup tinggi. Ketika menghasilkan lulusan yang banyak penganggurannya, maka suatu satuan, jenis atau janjang pendidikan dapat dikatakan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional. dengan banyaknya pengangguran terdidik, pendidikan juga dapat dikatan kurang mampu mendorong tumbuhnya produktivitas perekonomian nasional bahkan mungkin dapat menjadi kendala pertumbuhan. Pengangguran tenaga terdidik juga menimbulkan akibat-akibat social yang lebih komplek, seperti kenakalan, kegelisahan, kemiskinan, kriminalitas, ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah sebagai cirri masyarakat yanggg kurang mandiri. Dalam analisis sakernas (suryadi, 2011) memperlihatkan gejala konsisten bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar persentase lulusan yang menganggur. Persentase penganggur lulusan pendidikan dasar 1-3%, SMP 5-6%, SMA 14% dan pendidikan tinggi 13%. Perluasan SMK sebagai pendidikan persiapan kerja justru menghasilkan lulusan penganggur dengan persentase terbesar , 15,9%. Angka setengah penganggur sebesar 32% juga menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata pekerja Indonesia sangat rendah. Gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintah belum mampu mengemban amanat pasal27 ayat (2) yang berbunyi: “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
C.    Peranan LPDP

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan di atas serta permasalahan yang dipaparkan tersebut, maka salah satu solusi untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan atau menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Salah satunya pada pendidikan tinggi, dengan mengupayakan tri darma perguruan tinggi yaitu; pendidikan, pengabdian, dan penelitian. Pada aspek penelitian pada perguruan tinggi ini perlu didukung oleh pemerintah dalam memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan penelitian. Karena dalam melakukan penelitian membutuhkan dana yang cukup besar, kebanyakan mahasiswa bahkan dosen sekalipun minim melakukan penelitian dalam bidang keilmuannya salah satu alasannya dikarenakan dana yang tidak ada. Oleh sebab itu, LPDP sebagai salah satu program pemerintah Kementrian Keuangan merupakan harapan bagi para peneliti baik kalangan mahasiswa, dosen dan sebagainya yang telah memberikan kesempatan untuk memajukan pertumbuhan pembangunan nasional kedepannya dengan memberikan bantuan berupa beasiswa belajar mulai dari S1, S2, dan S3 serta memberikan bantuan penulisan tesis dan disertasi. Semoga dengan adanya program ini, tingkat penelitian Indonesia semakin bertambah, karena dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka keilmuan baru akan lahir dan permasalahan-permasalahan yang terjadi sedikit banyaknya bisa diatasi dan diobati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar