Selasa, 26 September 2017

MODEL EVALUASI BLACK BOX


MODEL EVALUASI BLACK BOX
OLEH
ADRIANTONI, M. Pd

A.    PENDAHULUAN
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahapan yang harus dilalui oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan keputusan maupun dalam mengambil kebijakan dalam pendidikan khususnya dalam kurikulum. Hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh pemegang kebijakan atau dalam kata lain stake holder maupun bagi para pengembang kurikulum untuk memilih dan menetapkan kebijakan atau keputusan dalam pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Selanjutnya  hasil evaluasi kurikulum juga bisa dijadikan sebagai umpan balik bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum. Menurut Oliva (1983) evaluasi adalah alat untuk menentukan keputusan apa yang perlu dikembangkan dan untuk memberikan dasar efek-efek yang berkembang. Sedangkan menurut Hasan (2009) evaluasi kurikulum adalah suatu usaha sistematis dalam mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai-nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Dengan demikian evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembangan kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum. Dalam evaluasi kurikulum, terdapat beberapa model yang bisa diterapkan oleh guru dalam melakukan evalusi kurikulum dan pembelajarannya di satuan pendidikan. Dimana setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dari setiap penerapannya. Keefektifan suatu model itu tergantung dari tujuan evaluasi tersebut. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan model evaluasi black box yang diciptakan oleh Tyler.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Model Black Box
Model black box atau dinamakan juga dengan model Tyler, karena orang yang melahirkan teori model evaluasi kurikulum ini ialah Tyler. Dalam buku Basic Principles of Curriculum and Instructional, Tyler banyak mengemukakan ide dan gagasannnya mengenai bagaimana melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Sehingga beliau menjadi terkenal sebagai salah seorang tokoh dalam evaluasi pendidikan atau pembelajaran yang hingga saat sekarang model atau konsepnya masih digunakan diterapkan dalam melakukan evaluasi pembelajaran atau evaluasi kurikulum. Dalam bukunya Tyler mengemukakan How can the effectiveness of learning experiences be evaluated?. Dari pertanyaan tersebut Model black box didasari oleh dua hal pokok yang menjadi fokus dari evalusinya. Pertama, evaluasi yang dilakukan dengan tujuan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada awal tingkah laku peserta didik sebelum dilaksanakannya kurikulum dan sesudah melaksanakan kurikulum (hasil). Dari kedua pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa seorang evaluator dalam melakukan evaluasi terlebih dahulu menentukan perubahan tingkah laku seperti apa yang harus ada pada peserta didik setelah mengikuti pengalaman belajar. Selanjutnya juga dalam model evaluasi ini Tyler juga mengatakan bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi disebabkan oleh kegiatan kurikulum, bukan oleh sesuatu yang lain diluar kurikulum atau pengalaman belajar. Dari kedua hal tersebut model Tyler lebih menitik beratkan kepada hasil belajar atau hasil akhir dari pelaksanaan kurikulum, sehingga aspek proses tidak diperhatikan dalam menentukan perubahan tingkah laku atau penentuan hasil belajar.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pelaksanaan kurikulum atau dalam bahasa sekarang dilakukannya tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Tyler mengatakan (1949) “On this basis, one is not able to evaluate an instructional program by testing students only at the end of the program. Without knowing where the students were at the beginning, it is not possible to tell how far changes have taken place”. Informasi yang diperoleh dari pre-tes merupakan gambaran awal bagi guru untuk mengetahui kemampuan peserta didik, sedangkan pos-tes merupakan gambaran akhir dari perubahan tingkah laku yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran dari kurikulum yang diterapkan. Dalam melakukan pre-tes dan pos-tes alat ukur yang digunakan harus sama, dan  tingkat validitas dan reliabilitasnya harus juga sama-sama tinggi. Persyaratan validitas dan reliabilitas dalam tes merupakan suatu persyaratan pokok agar hasil yang diperoleh benar-benar menggambarkan kemampuan peserta didik setelah mengikuti tes. Karena model Tyler tidak memandang kepada proses maka model ini dinamakan dengan model black box. Sebab, apa yang terjadi dalam proses tidak diperhatikan sehingga menjadi bahan pertanyaan untuk dicari jawabannya dari dalam kota ketersebut.
Dalam implementasi model evaluasi black box, Tyler mengemukakan tiga langkah yang harus dilakukan, diantaranya:
a.       Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
Penentuan tujuan merupakan suatu hal pokok yang harus diperhatikan dalam kurikulum. Karena dengan tujuan yang jelas makan hasil dari kurikulum akan bisa diukur dengan baik dan benar. Penentuan tujuan diarahkan kepada perubahan tingkah laku (behavioral objectives) sebenarnya di indonesia sudah lama diterapkan. Pada kurikulum 1975 misalnya tujuannya sudah dirahkan kepada perubahan tingkah laku, sehingga pada waktu itu para guru diwajibkan mengembangkan satuan pelajaran yang bernama Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Saat sekarang model PPSI tidak lagi digunakan oleh guru pada satuan pendidikan di seluruh Indonesia.
b.      Menentukan situasi di mana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
Langkah kedua dalam model evaluasi black box adalah bagaimana menentukan situasi untuk melakukan perubahan tingkah laku peserta didik benar-benar bisa terungkap dengan baik. Bila situasinya tidak diatur dengan baik, maka perubahan tingkah laku yang diharapkan tidak tercapai sepenuhnya. Sehingga program pembelajaran yang telah disusun pada waktu awal tidak tercapai sepenuhnya dalam kurikulum. 
c.       Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
Langkah ketiga yaitu menentukan alat untuk melakukan evaluasi, dalam melakukan evaluasi instrumen yang digunakan bisa bermacam-macam. Penggunaan jenis instrumen itu tergantung pokok permasalahan yang ingin diteliti atau sesuai dengan tujuan dilakukannya evaluasi atau penilaian. Dalam evaluasi kurikulum model black box ini instrumen yang digunakan adalah tes. Ketika evaluator telah menentukan situasi dimana peserta didik diharapkan dapat menunjukkan hasil belajar, maka evaluator harus memiliki pengetahuan mengenai karakteristik instrumen tersebut, kekuatan, dan kelemahannya. Selain itu juga seorang evaluator harus mengatakan kepada peserta didik jenis instrumen apa yang digunakan dalam mengukur perubahan tingkah laku peserta didik. Dalam melakukan evaluasi seorang evaluator juga bisa menggunakan instrumen yang sudah tersedia jikalau instrumen tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin diharapkan. Dalam menentukan jenis instrumen, evaluator harus mengembangkannya sesuai dengan prosedur dalam teori pengukuran. Di mana dalam teori pengukuran suatu instrumen dikatakan baik harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: validitas dan reliabilitas. Kedua persyaratan di atas merupakan hal pokok yang harus ada dalam setiap jenis instrumen penelitian. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto: 2010). Suatu instrumen yang valid maka tingkat kevaliditasnya akan tinggi, sebaliknya jika instrumennya kurang valid maka tingkat validitasnya akan rendah. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Untuk memperoleh instrumen yang valid seorang evaluator harus bertindak hati-hati sejak awal penyusunan tujuan. Menurt Ali (2011) kriteria instrumen itu dikatakan baik dan layak untuk digunkanakan harus memiliki empat syarat, yaitu: pertama, obyektif, dimana suatu instrumen pengukuran menunjukkan bahwa data yang dikumpullkan dengan menggunakan instrumen tertentu dapat menggambarkan keadaan sebenarnya. Kedua, layak, artinya kelayakan suatu instrumen menunjukkan bahwa instrumen itu dapat digunakan untuk mengumpulkan data yang sesuai. Ketiga, reliabel yaitu derajat kereliabelan dapat diketahui berdasarkan hasil pengujian secara empirik. Keempat, valid, artinya valid dari segi isi maupun juga valid dari segi konstraknya.
2.      Kelebihan dan kekurangan model black box
Setiap model tentu memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan Model black box tentu juga terdapat kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dari model black box, diantaranya: a. sederhana, artinya mudah untuk dilaksanakan oleh evaluator; b, hanya fokus pada aspek hasil belajar. Sedangkan kelemahan model black box, diantaranya; mengabaikan aspek proses, karena proses merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan oleh guru. Karena dalam proses terdapat berbagai pengalaman yang diperoleh peserta didik yang nantinya akan berpengaruh terhadap perubahan tingkah lakunya. Oleh karena itu, mode ini sangat disayangkan tidak memerhatikan aspek tersebut padahal itu sangat berarti sekali.
C.    KESIMPULAN
Evaluasi kurikulum merupakan sautu bagian dari pengembangan kurikulum yang sangat penting sekali untuk diketehui oleh seorang evaluator baik itu guru, kepala sekolah, dan stake holder. Dengan adanya evaluasi maka kita akan dapat mengetahuai sejauh mana keterlaksanaan dan ketercapain dari suatu kurikulum, sehingga nantinya kita bisa mengambil sautu keputusan atau kebijakan dari hasil evaluasi tersebut apakah kurikulum perlu dilkukan perbaikan atau revisi dan perubahan hingga pergantian. Dalam evaluasi kurikulum terdapat berbagai model-model evalusi kurikulum, dimana setiap model tentuk memiliki keunggulan dan kelemahan, karena model merupakan gambaran dari yang sebenarnya yang dijadikan sebagai acuan atau pedoman dalam penerapannya. Begitu juga dengan model black box ini yang dilahirkan oleh Tyler pada tahun 1946. Model ini sudah tua namun masih banyak diterapkan oleh guru dalam melakukan evalusi pembelajaran di satuan pendidikan.
D.    DAFTAR PUSTAKA
Ali. M. (2011). Memahami Riset Prilaku dan Sosial. Bandung: Cendekia Utama.
Arifin. Z. (2013). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosda Karya.
Arikunto. S. (2011). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan. S.H. (2009). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Rosda Karya.
Olive. P.F. (1983). Developing curriculum, A Guide to Problems, Principles and Process. New York. Harper & Publisher.
Sukmadinata. N.S. (2010). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. (2012). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Tyler. R.W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instructional. Chicago: University of Chicago Press.


PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


PERANAN LPDP DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN INDONESIA MENUJU 2025


Oleh 
Adriantoni



A.    Latar Belakang
Dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) periode 2005-2025, ditegaskan visi pembangunan nasional adalah “mewujudkan manusia dan masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Bangsa yang “mandiri” diukur dari kapasitasnya dalam upaya mewujudkan kualitas hidup dan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kekuatan sendiri. Masyarakat Indonesia yang “maju” diukur  dari kualitas manusianya yang dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang tercermin dalam system dan kelembagaan ekonomi, social, politik, dan hokum. Manusi dan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dapat ditunjukkan dengan struktur dan mekanisme dalam mencegah berbagai nilai, perilaku dan kebijakan institusi yang diskriminatif baik antarindividu, antar segmen masyarakat, maupun antar wilayah, sedangkan “makmur” dapat diukur dari terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup secara berkelanjutan. RPJPN 2005-2025 juga menetapkan delapan misi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan: (1) masyarakat yang berkhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradap berdasarkan falsafah pancasila; (2) bangsa yang berdaya saing; (3) masyarakat demokratis yang berlandaskan supermasi hokum; (4) Indonesia yang damai, aman,, dan bersatu; (5) pemerataan pembangunan yang berkeadilan; (6) Indonesia asri dan lestari; (7) Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, berbasiskan kepentingan nasional; dan (8) Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
B.     Permasalahan
Kini, Indonesia menhadapi tantangan persaingan bangsa di era global yang menuntut peningkatan kualitas dan produktivitas manusia terdidik. Berbagai kebijakan pembangunan pendidikan nasional telah dilahirkan, antara lain melalui sebuah loncatan besar dalam legislasi anggaran pendidikan hingga mencapai sedikitnya 20% dari APBN. Namun, besarnya anggaran pendidikan bukanlah sebuah jaminan untuk mencapai pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Indonesia masih harus bejerka keras mewujudkan efisiensi pengelolaan, pengalokasian, dan pendayagunaan anggaran pendidikan agar secara efektif dalam mencapai tujuan yang dimaksud. Daya saing hanya dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa yang mandiri, yaitu bangsa yang mampu melaksanakan kebijakan dan program pembangunan dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Perwujudan kemandirian suatu bangsa hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan yang bermutu, relevan, dan berkeadilan. Pendidikan harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan nasional di berbagai bidang. Dalam bidang perekonomian, pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga terdidik yang cakap, kreatif,dan professional agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi yan produktif dan berkelanjutan.
Dalam kaitan tersebut, berikut ini dikemukakan beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan system pendidikan nasional.
1.      Komitmen Indonesia terhadap legislasi internasional
Sebagai anggota aktif dari united nation (UN), Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan universal declaration of human right (UDHR, 1948), yang pada pasal 28 menegaskan bahwa; “(1) setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar, yang harus bersifat free and compulsory; (2) pendidikan teknik, kejuruan, profesi, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki (diikuti) oleh semua orang berdasarkan kemampuan masing-masing”. Untuk memenuhi hak-hak dasar manusia yang dilindungi oleh undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan yang bermutu, secara adil dan merata bagi seluruh warga Negara.
2.      Peningkatan mutu dan daya saing
Hingga kini, Indonesia masih menghadapi permasalahan konseptual yang kronis dalam penyusunan kebijakan nasional pendidikan. Sekal awal 1970 an, keberhasilan pembangunan pendidikan lebih banyak diukur dengan menggunakan indicator kunci keberhasilan (IKK) yang sebenarnya sudah dianggap using, tetapi masih dipakai secara massive di semua jenis dan jenjang pendidikan seperti angka partisipasi pendidikan (APK, APM, APS, angka melanjutkan sekolah, dan sejenisnya) pada tingkatan yang sangat agregat. Indicator kunci keberhasilan lain yang masih digunakan dalam mengukur mutu pendidikan nasional adalah skor akhir dari ujian nasional (UN) yang justru lebih banyak mengukur jumlah pengetahuan yang diperoleh siswa ketimbang mengukur capaian standar pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah masih menganggap bahwa konsep supremacy jauh lebih penting ketimbang konsep capacity. Kejuaran dalam olimpiade adalah contoh dari konsep supremacy karena yang menang hanya orang per orang yang jumlahnya kecil dan tidak terkait langsung dengan kemampuan bangsa menguasai iptek. Namun, penyiapan olimpiade justru mendapat perhatian yang jauh lebih besar ketimbang penguatan LPTK untuk menyiapkan dan mengembangkan guru yang berkompeten dalam meningkatkan mutu pendidikan matematika, sain, atau literasi. Kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun dalam matematika , sains, dan membaca masih berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA pada tahun 2012. Indonesia hanya lebih baik dari rangking terbawah, yaitu Peru. Rata-rata skor matematika, membaca, dan sains anak-anak Indonesia adalah 375, 396, dan 382, jauh di bawah rata-rata skor anak di Negara OECD, yaitu 494, 496, dan 501. Dengan posisi dalam PISA atau TIMSS yang demikian menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan rendahnya capacity dalam penguasaan Iptek.
3.      Relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
Permasalahan mutu dan daya saing lainnya yang cukup mengkhawatirkan adalah angka pengangguran nasional yang masih cukup tinggi. Ketika menghasilkan lulusan yang banyak penganggurannya, maka suatu satuan, jenis atau janjang pendidikan dapat dikatakan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional. dengan banyaknya pengangguran terdidik, pendidikan juga dapat dikatan kurang mampu mendorong tumbuhnya produktivitas perekonomian nasional bahkan mungkin dapat menjadi kendala pertumbuhan. Pengangguran tenaga terdidik juga menimbulkan akibat-akibat social yang lebih komplek, seperti kenakalan, kegelisahan, kemiskinan, kriminalitas, ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah sebagai cirri masyarakat yanggg kurang mandiri. Dalam analisis sakernas (suryadi, 2011) memperlihatkan gejala konsisten bahwa semakin tinggi pendidikan semakin besar persentase lulusan yang menganggur. Persentase penganggur lulusan pendidikan dasar 1-3%, SMP 5-6%, SMA 14% dan pendidikan tinggi 13%. Perluasan SMK sebagai pendidikan persiapan kerja justru menghasilkan lulusan penganggur dengan persentase terbesar , 15,9%. Angka setengah penganggur sebesar 32% juga menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata pekerja Indonesia sangat rendah. Gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintah belum mampu mengemban amanat pasal27 ayat (2) yang berbunyi: “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
C.    Peranan LPDP

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan di atas serta permasalahan yang dipaparkan tersebut, maka salah satu solusi untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan atau menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Salah satunya pada pendidikan tinggi, dengan mengupayakan tri darma perguruan tinggi yaitu; pendidikan, pengabdian, dan penelitian. Pada aspek penelitian pada perguruan tinggi ini perlu didukung oleh pemerintah dalam memfasilitasi mahasiswa untuk melakukan penelitian. Karena dalam melakukan penelitian membutuhkan dana yang cukup besar, kebanyakan mahasiswa bahkan dosen sekalipun minim melakukan penelitian dalam bidang keilmuannya salah satu alasannya dikarenakan dana yang tidak ada. Oleh sebab itu, LPDP sebagai salah satu program pemerintah Kementrian Keuangan merupakan harapan bagi para peneliti baik kalangan mahasiswa, dosen dan sebagainya yang telah memberikan kesempatan untuk memajukan pertumbuhan pembangunan nasional kedepannya dengan memberikan bantuan berupa beasiswa belajar mulai dari S1, S2, dan S3 serta memberikan bantuan penulisan tesis dan disertasi. Semoga dengan adanya program ini, tingkat penelitian Indonesia semakin bertambah, karena dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka keilmuan baru akan lahir dan permasalahan-permasalahan yang terjadi sedikit banyaknya bisa diatasi dan diobati. 

Rabu, 12 Juli 2017

IMPLEMENTASI KURIKULUM PADA JENJANG PENDIDIKAN PRASEKOLAH

IMPLEMENTASI KURIKULUM PADA JENJANG PENDIDIKAN PRASEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Friederich Froebel (1782-1852) seorang pendidik dari Jerman mengembangkan kindergarten (children’s garden). Ia memfokuskan pada anak-anak usia empat dan lima tahun dan meyakini bahwa kegiatan taman kanak-kanak harus diorganisasikan seputar bermain serta aktivitas minat mandiri atau kelompok. Froebel mengembangkan kurikulum berpusat pada anak dengan berdasarkan pada kasih, kepercayaan dan kebebasan. Lagu, cerita, benda-benda penuh warna dan permainan merupakan bagian dari kurikulum formal. Anak-anak dapat memanipulasi benda, bentuk dan membangun material dan terlibat dalam kegiatan yang menyenangkan. Semua aktivitas ini dilakukan untuk membangun lingkungan belajar dan menyediakan tempat aman yang menyenangkan dimana anak-anak dapat tumbuh secara alami. Konsep kindergarten dibawa oleh imigran Jerman ke Amerika dan kemudian berkembang dalam skala besar di Amerika. Banyak ide dari Froebel menjadi dasar berkembangnya teori pendidikan anak usia dini (Ornstein dan Hunkins, 2009)
Usia 4-6 tahun secara terminologi disebut sebagai anak usia prasekolah. Perkembangan kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan dari 50% menjadi 80%. selain itu, berdasarkan hasil penelitian kajian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Diknas tahun 1999, menunjukkan bahwa di kelas I Sekolah Dasar hampir seluruh aspek perkembangan anak yang pernah masuk Taman Kanak-kanak mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah masuk Taman Kanak-kanak. Data angka mengulang kelas tahun 2001-2002 untuk kelas I sebesar 10,85%, kelas II sebesar 6,6804, kelas III sebesar 5,4800. Data tersebut menggambarkan bahwa angka mengulang kelas pada kelas I dan II lebih tinggi dari kelas lain. Mereka adalah anak yang belum siap dan tidak dipersiapkan oleh orang tuanya memasuki Sekolah Dasar . Adanya perbedaan yang besar antara pola pendidikan di sekolah dan dirumah menyebabkan anak yang tidak masuk pendidikan Taman Kanak-kanak (prasekolah) mengalami kejutan sekolah dan mereka mogok sekolah atau tidak mampu menyesuaikan diri sehingga tidak dapat berkembang secara optimal. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengembangan seluruh potensi anak usia prasekolah.
Usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensi anak. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Peranan yang sangat penting dilakukan secara bekerjasama antara pendidik,orang tua, dan orang dewasa lain untuk memberikan stimulasi agar anak dapat berkembang secara optimal.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini kami akan menguraikan bagaimana implementasi kurikulum di jenjang pendidikan di usia prasekolah diterapkan, khususnya di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
            Makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar implementasi kurikulum di jenjang pendidikan prasekolah, yaitu sebagai berikut:
·         Mengapa dilakukan pendidikan mulai dari jenjang prasekolah?
·         Apa tujuan dari implementasi kurikulum di jenjang pendidikan prasekolah?
·         Apa landasan kebijakan dilaksanakannya pendidikan prasekolah di Indonesia?
·         Bagaimana implementasi kurikulum pendidikan prasekolah di era Kurikulum 2004?
·         Bagaimana implementasi kurikulum pendidikan prasekolah di era Kurikulum 2006 sampai sekarang?

1.3 Tujuan
            Adapun tujuan ditulisnya makalah ini adalah sebagai berikut:
·         Menjelaskan pentingnya dilakukan pendidikan mulai dari jenjang prasekolah.
·         Menguraikan tujuan dari implementasi kurikulum di jenjang pendidikan prasekolah.
·         Menjelaskan landasan kebijakan dilaksanakannya pendidikan prasekolah di Indonesia.
·         Mendeskripsikan implementasi kurikulum pendidikan prasekolah di era Kurikulum 2004.
·         Mendeskripsikan implementasi kurikulum pendidikan prasekolah di era Kurikulum 2006 sampai sekarang.



BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN PRASEKOLAH

Selama beberapa dekade belakangan ini Pendidikan Anak Usia Dini mendapat  peningkatan perhatian dan dukungan, dan kecenderungan pendidikan di jenjang ini akan menjadi tren yang signifikan di masa depan.  Program pendidikan bagi anak usia prasekolah diselenggarakan oleh sekolah negeri dan swasta, lembaga keagamaan, serta tempat penitipan anak; selain itu sejumlah program pendidikan anak prasekolah juga ditawarkan oleh bisnis dan industri kepada para karyawannya. PAUD dapat berupa program TK setengah hari, atau dapat juga berupa program full day school yang berfokus pada keterampilan kesiapan belajar membaca dan berhitung.
Sayangnya, tidak ada sistem lembaga bagi PAUD yang menjamin pengalaman belajar PAUD bagi semua anak, dan sumber daya pendukung program PAUD tidak konsisten. Pertumbuhan PAUD juga dipengaruhi oleh teori perkembangan dan teori belajar yang menekankan perlunya simulasi dini dan dorongan untuk rasa ingin tahu pada bayi dan anak-anak ketika potensi intelektual mereka sedang dikembangkan.  Sejak penelitian menunjukkan bahwa banyak dari pengembangan intelektual anak dimulai sejak usia enam tahun (Woodfolk, 2005; Slavin, 2003), pembelajaran di jenjang prasekolah membantu meningkatkan minat anak dalam belajar pada periode penting masa perkembangannya.
Banyak tujuan dari program PAUD ini, yang beberapa diantaranya berdasarkan 3 kurikulum, yaitu pengaruh sosial, teori perkembangan, dan gaya belajar. Tujuan program PAUD menurut Parkay, dkk (2006: 328-329) adalah sebagai berikut:
1.        Membantu peserta didik mengembangkan sifat kepercayaan, kemandirian, dan inisiatif
2.        Mengenalkan struktur dan organisasi tanpa membatasi mengekspresikan diri dan kreativitas (Jones dalam Parkay, dkk, 2006: 334).
3.        Mengembangkan keterampilan sosial melalui kelompok besar, kelompok kecil, dan aktivitas individual (Plevyak & Morris dalam Parkay, dkk, 2006: 347-350).
4.        Menyediakan pendidikan fisik dan kesehatan yang tepat dan memadai.
5.        Mengajarkan keterampilan dasar dalam komunikasi dan berhitung.
6.        Membangun kemauan belajar dan apresiasi terhadap pendidikan dengan memberikan pengalaman yang menambah minat dan rasa ingin tahu.
7.        Mengembangkan minat di berbagai bidang melalui pemberian informasi di berbagai bidang pengetahuan.
8.        Mengembangkan rasa harga diri dan rasa aman dengan menyediakan kesempatan pada setiap anak untuk membangun keberhasilannya sendiri.
9.        Menyediakan banyak kesempatan bagi anak untuk merasakan kepuasan dalam kesuksesan (Joyce, dkk dalam Parkay, dkk, 2006: 351 – 359).
10.    Mengembangkan apresiasi terhadap keberagaman.
11.    Mengembangkan proses dalam mengenal konsep, pemecahan masalah, mengatur diri sendiri, dan mencipta (Keech dalam Parkay, 2006: 360-364).
12.    Mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan, komunitas lokal dan global, masa depan, dan kesejahteraan orang lain.
13.    Membantu peserta didik untuk menguji dan mengembangkan nilai-nilai moral.
Salah satu tujuan pendidikan prasekolah adalah membantu membangun kesiapan anak untuk dapat menempuh jenjang pendidikan selanjutnya yaitu pendidikan dasar. Terdapat bermacam-macam tes dan evaluasi kesiapan yang digunakan untuk menentukan kesiapan siswa TK. Sebuah studi yang dipresentasikan di Annual Meeting of the American Educational Research Association tahun 1996 menemukan bahwa orang tua, pengasuh anak, dan guru taman kanak-kanak mengelompokkan kesiapan anak menjadi tiga kategori, yaitu: (1) sehat, makan dengan baik, dan beristirahat dengan baik; (2) dapat mengekspresikan kebutuhan mereka, keinginan, dan pikiran mereka; dan (3) antusias dan penasaran dengan aktivitas baru.
Studi yang lain menyoroti perbedaan harapan dari guru dan orang tua tentang kesiapan siswa TK (Welch & White, 1999 dalam Parkay, dkk, 2006). Orang tua sepertinya lebih mengutamakan keterampilan akademik seperti berhitung, menulis, dan pengenalan alphabet sebagai keterampilan yang penting bagi siswa PAUD. Sedangkan guru lebih mengutamakan kesehatan fisik, sistem komunikasi yang efektif, rasa ingin tahu, dan antusiasme, sebagai indikator yang lebih baik dari kesiapan siswa.
Pengalaman belajar prasekolah menawarkan berbagai keuntungan bagi anak-anak. Salah satu keuntungan yang terdokumentasikan adalah bahwa anak yang mengikuti PAUD mendapatkan skor yang lebih tinggi dalam tes seleksi pendidikan dasar.



BAB III
IMPLEMENTASI KURIKULUM PADA JENJANG PENDIDIKAN PRASEKOLAH

3.1 Landasan Kebijakan
Kurikulum yang digunakan di jenjang pendidikan pra sekolah di Indonesia, disebut juga Pendidikan Anak Usia Dini,  saat ini adalah KTSP tahun 2006. KTSP tahun 2006 tersebut pada dasarnya isinya adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang tetap mengacu pada KBK tahun 2004. Perubahan ada pada pengembangannya yang menjadi desentralisasi, masing-masing lembaga pendidikan mempunyai kewenangan untuk mengembangkan pada proses penerapannya.
Kurikulum PAUD disiapkan oleh satuan PAUD yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan anak dengan mengacu pada dalam Peremendiknas No. 58 Tahun 2009 tentang Standar PAUD. Setiap anak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai potensi masing-masing. Pendidik bertugas membantu, jika anak membutuhkan.
Kurikulum disusun harus memperhatikan seluruh potensi anak agar dapat berkembang optimal dengan memadukan seluruh aspek pengembangan. Kurikulum bukanlah harga mati pada pelaksanaan kegiatan main dan pembelajaran. Kurikulum merupakan acuan minimal, dengan kata lain, kurikulum dapat dikembangkan sesuai dengan situasi kondisi peserta didik, waktu, dan daerah dimana kurikulum tersebut digunakan.
Kurikulum di lembaga pendidikan anak usia dini terdiri dari dua kategori, yaitu kurikulum untuk pendidikan formal dan kurikulum untuk pendidikan non formal. Kurikulum yang digunakan pun dirancang berbeda sesuai usia anak yang dilayani.
Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan pra sekolah adalah:
·         UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
·         PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
·         Permendiknas No. 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini
·         Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014
3.2 Implementasi Kurikulum Pendidikan Prasekolah Era Kurikulum 2004
Paradigma pembelajaran pada kurikulum terdahulu, anak didik hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka yang menerima materi dari guru saja namun pada kurikulum 2004 ini, para anak didik dituntut aktif mengembangkan semua aspek perkembangan anak secara optimal. Pada dasarnya guru hanya bertindak sebagai fasilitator, motivator bagi anak dalam pembelajaran. Dalam kegiatan di kelas, anak bukan lagi sebagai pendengar akan tetapi aktif berinteraksi dengan guru.
Keberhasilan pengembangan anak usia prasekolah atau Taman Kanak-kanak hendaklah dapat dicapai secara utuh. Untuk mencapai harapan itu, cara yang dianggap paling tepat dan relevan adalah segala kegiatan pengembangannya didasarkan atas pengembangan yang berbasis dan berprinsip pada perkembangan, kebutuhan dan karakteristik belajar anak (DAP = Developmentally Appropriate Practices) dan memperhatikan seluruh dimensi tumbuh-kembang anak (holistik), sehingga proses dan hasil dari tindakan pengembangan lebih bermakna dan fungsional bagi kehidupan anak.

3.3 Implementasi Kurikulum Pendidikan Prasekolah Era Kurikulum 2006

Telah dikemukakan bahwa dengan adanya Pemberlakuan UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menuntut cara pandang yang berbeda tentang pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Dulu, pengembangan kurikulum dilakukan oleh pusat dalam hal ini Pusat Kurikulum sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan pendidikan. Peraturan tersebut mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Pengembangan kurikulum yang dilakukan langsung oleh satuan pendidikan memberikan harapan tidak ada lagi permasalahan berkenaan dengan pelaksanaannya. Hal ini karena penyusunan kurikulum satuan pendidikan seharusnya telah mempertimbangkan segala potensi dan keterbatasan yang ada.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan terbitnya Standar Nasional PAUD No. 58 tahun 2010 , maka diharapkan TK sudah dapat mengembangkan Kurikulumnya sendiri. Standar Nasional PAUD merupakan hasil kajian yang dilakukan terhadap Standar Kompetensi TK/RA 2004 dan Menu Pembelajaran Generik 2002 serta permasalahannya baik dokumen maupun implementasinya. Di samping itu juga dilakukan kajian pustaka (kajian teoritik) yang menjadi landasan PAUD. Standar nasional yang disiapkan ini merupakan standar yang ditujukan untuk seluruh anak usia dini yaitu dari usia lahir sampai 6 tahun, Oleh karena itu, bagi TK dapat menggunakan standar ini dengan mengambil standar perkembangan anak yang sesuai dengan usia anak TK yaitu usia 4-6 tahun.
Standar Pendidikan Nasional PAUD merupakan pengelompokkan dari 8 standar nasional Pendidikan. Standar PAUD tersebut dikelompokan jadi 4 standar yaitu:
·         Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan
·         Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
·         Standar isi, proses, dan penilaian, dan
·         Sandar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan
Jabaran setiap standar adalah:
·         Standar tingkat pencapaian perkembangan berisi kaidah pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Tingkat perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangannya,
·         Standar pendidik (guru, guru pendamping, dan pengasuh) dan tenaga kependidikan memuat kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.
·         Standar isi, proses, dan penilaian meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program yang dilaksanakan secara terintegrasi/terpadu sesuai dengan kebutuhan anak.
·         Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan mengatur persyaratan fasilitas, manajemen, dan pembiayaan agar dapat menyelenggarakan PAUD dengan baik.

Sesuai dengan standar nasional PAUD, maka tujuan yang hendak dicapai merupakan tingkat pencapaian perkembangan yang dijabarkan dari aspek perkembangan. Ada 5 aspek perkembangan yaitu,
1.      Nilai-nilai agama dan moral
2.      Fisik (motorik kasar, motorik halus, dan kesehatan fisik)
3.      Kognitif (pengetahuan umum dan sains; konsep bentuk, warna, ukuran, dan pola; konsep bilangan, lambang bilangan, dan huruf)
4.      Bahasa (menerima bahasa, mengungkapkan bahasa, keaksaraan)
5.      Sosial emosional

Struktur program kegiatan PAUD mencakup bidang pengembangan pembentukan perilaku dan bidang pengembangan kemampuan dasar melalui kegiatan bermain dan pembiasaan. Lingkup pengembangan meliputi: (1) nilai-nilai agama dan moral, (2) fisik, (3) kognitif, (4) bahasa, dan (5) sosial emosional. Kegiatan pengembangan suatu aspek dilakukan secara terpadu dengan aspek yang lain, menggunakan pendekatan tematik.
Pendidikan di TK dititik beratkan pada pemupukan budi pekerti yang luhur dan memperluas pengalaman, pembentukan kebiasaan dan kedekatan yang dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari, menjembatani suasana dirumah dan sekolah, Taman Kanak-kanak sebagai tempat untuk meletakkan dasar sifat dan kebiasaan anak.
Kegiatan pembelajaran yang direncanakan oleh guru sehari-hari dapat dilaksanakan dalam bentuk:
a. Kegiatan klasikal
Kegiatan klasikal artinya kegiatan yang dilakukan oleh seluruh anak dalam satu kelas, dalam satu satuan waktu dengan kegiatan yang sama. Pengorganisasian anak pada saat kegiatan awal dan akhir pada umumnya dilaksanakan dengan kegiatan klasikal. Contoh: dalam kegiatan klasikal, teknik/metode yang dapat digunakan misalnya menyanyi, bercakapcakap, berceritera dan lain-lain.

b. Kegiatan kelompok
Kegiatan kelompok artinya dalam satu satuan waktu tertentu terdapat beberapa kelompok anak melakukan kegiatan yang berbeda-beda. Hal yang perlu diperhatikan pada kegiatan kelompok hendaknya dipilih kegiatan yang diperkirakan anak dapat menyelesaikan kegiatan dalam waktu yang hampir bersamaan. Pada umumnya kegiatan kelompok digunakan untuk pengorganisasian anak pada saat kegiatan inti.

c. Kegiatan individual
Kegiatan individual artinya setiap anak dimungkinkan memilih kegiatan sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Contoh: pada kegiatan pembelajaran berdasarkan minat, anak melakukan kegiatan individual dengan memilih kegiatan yang sesuai dengan minat dan keinginannya.
Rombongan belajar untuk PAUD Jalur Pendidikan Formal, jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar sebanyak 20 peserta didik dengan 1 orang guru TK/RA atau guru pendamping. Kelompok A untuk anak usia 4-5 tahun dan kelompok B untuk anak usia 5-6 tahun.
Alokasi waktu kegiatan untuk PAUD Jalur Pendidikan Formal adalah:
·         Satu kali pertemuan selama 150 – 180 menit.
·         Enam atau lima hari per minggu, dengan jumlah pertemuan sebanyak 900 menit (30 jam @ 30 menit).
·         Tujuh belas minggu efektif per semester.
·         Dua semester pertahun.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri No. 58 tahun 2009 tentang Standar PAUD, maka lembaga pendidikan perlu menyusun program pembelajaran sendiri. Dalam mengembangkan program tersebut, sebaiknya mempertimbangkan karakteristik sebagai berikut:
·         Program pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan kebutuhan terhadap kesehatan, gizi, stimulasi sosial dan kepentingan terbaik bagi anak.
·         Program pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan karakteristik anak TK dan layanan pendidikan.
·         Program pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dilaksanakan berdasarkan prinsip belajar melalui bermain dengan memperhatikan perbedaan individual, minat, dan kemampuan masing-masing anak, sosial budaya, serta kondisi dan kebutuhan masyarakat.
·         Dilengkapi dengan perencanaan Pembelajaran meliputi Perencanaan (1) Semester, (2) Rencana Kegiatan Mingguan (RKM) dan (3) Rencana Kegiatan Harian (RKH).
Prinsip pelaksanaan kurikulum di jenjang pendidikan prasekolah adalah sebagai berikut:
            Memperhatikan tingkat perkembangan, kebutuhan, minat dan karakteristik anak.
            Mengintegrasikan kesehatan, gizi, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan.
            Pembelajaran dilaksanakan melalui bermain.
            Kegiatan pembelajaran dilakukan secara bertahap, berkesinambungan, dan bersifat pembiasaan.
            Proses pembelajaran bersifat aktif, kreatif, interaktif, efektif, dan menyenangkan.
            Proses pembelajaran berpusat pada anak.
            Pemilihan alat bermain dan sumber belajar yang ada di lingkungan.
            Pemilihan teknik dan alat penilaian sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
            Menciptakan suasana bermain yang aman, nyaman, bersih, sehat, dan menarik.
            Penggunaan alat permainan edukatif memenuhi standar keamanan, kesehatan, dan sesuai dengan fungsi stimulasi yang telah direncanakan.
            Memanfaatkan lingkungan.
            Pengorganisasian Kegiatan
            Kegiatan dilaksanakan di dalam ruang/kelas dan di luar ruang/kelas.
            Kegiatan dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan.
            Pengelolaan kegiatan pembelajaran pada usia 4 - ≤6 tahun dilakukan dalam individu, kelompok kecil, dan kelompok besar meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu pembukaan, inti dan penutup.
            Melibatkan orang tua/keluarga.
Selain hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan kegiatan perlu juga memperhatikan
1. Pengaturan Ruangan/Kelas
Ruangan/kelas diatur sedemikian rupa, sehingga kegiatan pembelajaran dapat terlaksana seefisien mungkin.
2. Pengaturan Alat/Sumber Belajar
Alat/sumber belajar di TK dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni: alat/sumber belajar di dalam ruangan/kelas dan alat/sumber belajar di luar ruangan/kelas.
Yang terakhir yang perlu menjadi perhatian adalah aspek penilaian. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan tingkat pencapaian perkembangan anak yang mencakup:
       Teknik Penilaian; pengamatan, penugasan, unjuk kerja, pencatatan anekdot, percakapan/dialog, laporan orang tua, dan dokumentasi hasil karya anak (portofolio), serta deskripsi profil anak.
       Lingkup (1) Mencakup seluruh tingkat pencapaian perkembangan peserta didik. Dan (2) Mencakup data tentang status kesehatan, pengasuhan, dan pendidikan.
       Proses (1) Dilakukan secara berkala, intensif, bermakna, menyeluruh, dan berkelanjutan. (2) Pengamatan dilakukan pada saat anak melakukan aktivitas sepanjang hari. (3) Secara berkala tim pendidik mengkaji-ulang catatan perkembangan anak dan berbagai informasi lain termasuk kebutuhan khusus anak yang dikumpulkan dari hasil catatan pengamatan, anekdot, check list, dan portofolio.(4) Melakukan komunikasi dengan orang tua tentang perkembangan anak, termasuk kebutuhan khusus anak. (5) Dilakukan secara sistematis, terpercaya, dan konsisten.(6) Memonitor semua aspek tingkat pencapaian perkembangan anak.(7) Mengutamakan proses dampak hasil.(8) Pembelajaran melalui bermain dengan benda konkret.
       Pengelolaan hasil (1) Pendidik membuat kesimpulan dan laporan kemajuan anak berdasarkan informasi yang tersedia.(2) Pendidik menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan anak secara tertulis kepada orang tua secara berkala, minimal sekali dalam satu semester.(3) Laporan perkembangan anak disampaikan kepada orang tua dalam bentuk laporan lisan dan tertulis secara bijak, disertai saran-saran yang dapat dilakukan orang tua di rumah.
       Tindak lanjut: (1) Pendidik menggunakan hasil penilaian untuk meningkatkan kompetensi diri., (2) Pendidik menggunakan hasil penilaian untuk memperbaiki program, metode, jenis aktivitas/kegiatan, penggunaan dan penataan alat permainan edukatif, alat kebersihan dan kesehatan, serta untuk memperbaiki sarana dan prasarana termasuk untuk anak dengan kebutuhan khusus.(3) Mengadakan pertemuan dengan orang tua/keluarga untuk mendiskusikan dan melakukan tindak lanjut untuk kemajuan perkembangan anak.(4) Pendidik merujuk keterlambatan perkembangan anak kepada ahlinya melalui orang tua.(5) Merencanakan program pelayanan untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus.

Penilaian dilaksanakan dengan observasi, percakapan, penugasan, hasil karya, dan unjuk kerja serta percakapan guru dengan anak di sudut –sudut kegiatan secara individu. Guru harus menilai dan mencatat kegiatan yang dilakukan anak didik di sudut–sudut kegiatan sesuai dengan kegiatan yang disukai anak.

3.4 Kurikulum 2013 PAUD
Pemerintah pada tahun ajaran 2014, sudah mulai memberlakukan ketentuan baru yaitu Kurikulum 2013 PAUD, pengembangan kurikulum 2013 telah dilakukan melalui beberapa tahap yang melibatkan berbagai unsur yang kompeten dengan kurikulum PAUD, revisi kurikulum tersebut bertujuan untuk mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat guna mengantisipasi perkembangan jaman.
Kurikulum 2013 PAUD adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di satuan PAUD. Perubahan sebuah kurikulum telah banyak terfokus pada pengubahan dokumen saja, tetapi terkait dengan pelaksanaan pembelajaran, penciptaan suasana belajar, cara evaluasi/asesmen pembelajaran.
            Secara prinsip pelaksanaan, Kurikulum PAUD pada Kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan Kurikulum 2013 di jenjang SD, SMP, dan SMA, yaitu menggunakan istilah Kompetensi Inti, melakukan pendekatan saintifik dalam proses pembelajarannya, dan dengan model pembelajaran tematik integratif.
            Kompetensi inti yang harus dicapai peserta didik PAUD yang dikategorikan sebagai anak yang siap belajar adalah:
·           Sikap: mempunyai perilaku yang mencerminkan sikap beragama, peduli, rasa ingin tahu, percaya diri, disiplin, mandiri, dan interaktif dengan keluarga, teman dan guru di lingkungan rumah, tempat bermain dan satuan PAUD.
·           Pengetahuan: memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang produktif dan kreatif melalui bahasa, karya, dan gerakan.
·           Keterampilan: memiliki kemampuan berpikir dan bertindak
Prinsip proses implementasi kurikulum PAUD adalah sebagai berikut:
·           Mengoptimalkan fungsi penginderaan anak
·           Mengenalkan segala sesuatu dari konkrit ke abstrak.
·           Dilakukan secara menyenangkan, atas inisiatif sendiri, bebas dari paksaan.
·           Dapat bereksplorasi menggunakan ide sendiri
·           Membangun pengalaman nyata anak untuk membangun pengetahuannya sendiri.
·           Didukung dengan pijakan guru yang tepat.
·           Inkuiri; membangun critical thinking dan problem solving pada anak.

Adapun pola pembelajarannya adalah sebagai berikut:
·           Terencana.
·           Tematik terintegrasi
·           Kontekstual
·           Melalui pengalaman langsung
·           Melalui suasana bermain dan menyenangkan
·           Responsif
·           Asesmen autentik
·           Penerapan Pendidikan karakter



BAB IV
PENUTUP

            Dari uraian dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.        Pendidikan prasekolah perlu untuk dilaksanakan karena berdasarkan penelitian, di usia 4 – 6 tahun otak anak mengalami perkembangan yang signifikan dari 50% menjadi 80%. Sehingga sesuai dengan teori perkembangan dan teori belajar, penting untuk dilakukan stimulasi sejak dini agar potensi anak dapat dikembangkan secara optimal, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
2.        Tujuan dari implementasi kurikulum di jenjang pendidikan prasekolah secara garis besar mengembangkan seluruh potensi dalam diri anak serta mempersiapkan keterampilan anak untuk menempuh jenjang pendidikan berikutnya yaitu pendidikan dasar, tanpa menghilangkan kesempatan anak dalam mengekspresikan diri.
3.        Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan pra sekolah adalah:
·         UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
·         PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
·         Permendiknas No. 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini
4.        Paradigma pembelajaran pada kurikulum terdahulu, anak didik hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka yang menerima materi dari guru saja namun pada kurikulum 2004 ini, para anak didik dituntut aktif mengembangkan semua aspek perkembangan anak secara optimal. Pada dasarnya guru hanya bertindak sebagai fasilitator, motivator bagi anak dalam pembelajaran. Dalam kegiatan di kelas, anak bukan lagi sebagai pendengar akan tetapi aktif berinteraksi dengan guru.
5.        Dalam Kurikulum 2004 pengembangan kurikulum dilakukan oleh pusat, dalam hal ini Pusat Kurikulum sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh satuan pendidikan. Peraturan tersebut mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Pengembangan kurikulum yang dilakukan langsung oleh satuan pendidikan memberikan harapan tidak ada lagi permasalahan berkenaan dengan pelaksanaannya. Hal ini karena penyusunan kurikulum satuan pendidikan seharusnya telah mempertimbangkan segala potensi dan keterbatasan yang ada. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dengan terbitnya Standar Nasional PAUD No. 58 tahun 2010, maka diharapkan TK sudah dapat mengembangkan Kurikulumnya sendiri.
6.        Secara prinsip pelaksanaan, Kurikulum PAUD pada Kurikulum 2013 tidak jauh berbeda dengan Kurikulum 2013 di jenjang SD, SMP, dan SMA, yaitu menggunakan istilah Kompetensi Inti, melakukan pendekatan saintifik dalam proses pembelajarannya, dan dengan model pembelajaran tematik integratif.



DAFTAR PUSTAKA

McNeil, John D. (2006). Contemporary Curriculum In Thought and Action. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Parkay, Forrest W., Hass, Glen J., & Anctil, Eric J. (2010). Curriculum Leadership; Readings For Developing Quality Educational Programs. Boston: Pearson Education Inc.

Parkay, Forrest W., Hass, Glen J., & Anctil, Eric J. (2006). Curriculum Planning; A Contemporary Approach. Boston: Pearson Education Inc.


Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiona